Hai semua, setelah lama
gak ngeblog sejak posting terakhir (Trip to Thailand), sekarang saya udah bisa
nulis lagi karena ada topik yang ingin dikupas.
Jadi bulan Agustus
kemarin menjadi bulan yang berbeda untuk saya. Singkat cerita, adik saya yang
paling kecil harus dioperasi karena usus buntunya membengkak. Kronologis dari
awal sampai dia operasi kira-kira seperti ini.
Kamis, 17 Agustus 2017
Di hari kemerdekaan itu,
kita yang kerja kantoran libur semua dan stay at home. Seperti biasa, Mama saya
pergi ke pasar untuk beli sarapan buat kita. Pulang-pulang dari sana, beliau
bawa berbagai jenis makanan dan adik saya langsung menyantap nasi campur yang
ada pelengkap kuah santannya. Setelah makan, dia naik ke atas ke kamar
tidurnya. Gak berapa lama kemudian, saat saya sedang makan, ada pesan masuk via
LINE dan disusul telepon. Adik saya bilang perutnya sakit banget, melilit dan
minta ijin ke rumah sakit. Papa dan Mama saya langsung heboh dan naik ke kamar
dia. Adik saya udah nangis-nangis karena gak kuat sama sakitnya. Pacarnya
datang juga ke rumah dan kita berempat (saya, mama, dia dan pacarnya) langsung
ke Rumah Sakit Pondok Indah di Puri Indah.
Singkat cerita, setelah
sampai kita langsung ke Unit Gawat Darurat karena setau saya di hari libur
begini cuma di tempat itulah yang beroperasi. Adik saya langsung dibaringkan
dan disuntik obat anti nyeri. Setelah dokternya nanya-nanya dan periksa perut
adik saya, dia bilang ini sakit maag dan langsung dibuat resep obat maag.
Setelah menebus obat, kita semua langsung balik lagi ke rumah. Total yang harus
dibayar untuk konsultasi + obat-obatan hari itu 1,2 juta rupiah.
Jumat, 18 Agusuts 2017
Hari itu hari kerja
biasa. Adik saya yang masih kuliah dan lagi libur semester, tinggal di rumah
bareng Papa dan Mama. Tiba-tiba sekitar jam 9 – 10 pagi, dia teriak bilang
perutnya sakit banget. Mama dan Papa saya langsung heboh karena adik saya
bilang sakitnya kali ini lebih hebat dibandingkan kemarin. Adik saya pun
menangis dan gak kuat jalan, sampai dibopong papa ke mobil. Akhirnya kakak saya
yang paling tua (tinggal di sebelah rumah, jadi tetangga kita) ngantar papa,
mama dan adik saya ke RS lagi. Rumah sakitnya masih di RSPI dan kali ini mereka
ketemu sama dokter internist-nya. Setelah dokternya melalukan pemeriksaan
mendetail melalui screening, didapatlah fakta kalau usus adik saya lecet,
rahimnya bengkak karena lagi mens dan usus buntunya lebih besar dari ukuran
normal. Kombinasi hal itulah yang menyebabkan rasa sakitnya menjadi hebat.
Setelah disuntik obat anti nyeri (lagi) dan udah agak baikan, adik saya disuruh
rawat inap aja di RS. Tapi saat itu papa saya minta bawa pulang saja, karena
dia pikir adik saya akan baik-baik saya karena asal sakit sesungguhnya sudah
diketahui. Dokter internist-nya bilang dia akan focus untuk mengobati usus yang
lecetnya dulu karena dia pikir ini masalah utamanya. Setelah menebus obat dan
bayar biaya konsultasi dkk, keluarga saya akhirnya pulang ke rumah. Malam
itu adik saya masih bisa ketawa-ketiwi, jalan naik turun tangga dan merasa
perutnya sudah baikan. Total yang harus dibayar untuk konsultasi + obat-obatan
+ tindakan medis hari itu 5,7 juta rupiah.
Sabtu, 19 Agustus 2017
Sekitar jam 4 pagi,
pintu kamar saya diketuk. Papa saya masuk dan bilang perut adik saya sakit
banget. Saya langsung naik ke lantai dua dan lihat dia lagi berbaring di ruang
keluarga (gak tidur di kamarnya). Adik saya nangis sambal bilang perutnya sakit
banget dan sekujur badannya kesemutan. Papa saya sempat berdebat sama Mama,
karena Mama bilang baru kemarin dari RS kenapa sekarang mau ke RS lagi. Dokter
internistnya juga ada bilang, kalau 3 hari kemudian masih belum sembuh, harus
ke RS lagi. Tapi Papa saya gak tega ya lihat adik saya nangis-nangis, jadi
akhirnya kita semua langsung ke RS di pagi-pagi buta itu. Adik saya dibopong
masuk mobil oleh Papa, kita juga gak lupa bawa hasil screening kemarin.
Sebenarnya adik saya ini sakit apa, udah bolak-balik ke RS dan dikasih obat
tetap saja masih mengeluh sakit. Baru kali ini ada anggota keluarga kami yang
intens berhubungan dengan RS.
Begitu sampai di RSPI,
kita langsung ke UGD lagi dan adik saya minta disuntik obat anti nyeri. Dokter yang
jaga saat itu masih muda dan meragukan, karena saat membaca riwayat kesehatan
adik saya di komputernya, dia ada bilang saya gak ngerti ke suster di sebelahnya.
Entahlah gak ngerti apanya, mungkin keterangan yang dimasukkan dokter kemarin
ke riwayat adik saya kurang lengkap atau jelas. Akhirnya setelah dia periksa
perut adik saya, dia bilang ini usus buntu dan sebaiknya dioperasi. Jam 8 pagi
udah bisa dioperasi, karena dokternya sudah datang dan ada kamar yang siap
dipakai. Karena meragukan, kita bilang mau tunggu dokter bedah saja + dokter
internist yang kemarin. Harusnya kemarin adik saya ketemu dengan dokter bedah
juga, tapi dokter bedahnya lagi gak ada. Pihak rumah sakit bilang dokter
bedahnya akan datang sekitar jam 8an.
Sambil menunggu si dokter bedah, kita mau
balik dulu ke rumah (karena jarak rumah – RS deket banget). Tapi pihak RSnya
suruh kita ngisi form-form dulu, minta kita milih mau kamar yang tipe apa, biar
adik saya bisa langsung dipindahin ke kamarnya. Kita gak yakin bener apakah
adik saya harus dioperasi dan rawat inap, makanya kita bilang nanti dulu aja.
Akhirnya pihak RSnya nanya, gak papa nih adiknya nunggu di ruang UGD? Adik saya
bilang gak papa. Lalu kita semua pulang dan ninggalin adik saya sendirian di
UGD. Kejam ga sih? Menurut saya sih engga, tapi kakak saya yang paling tua
bilang kok dia ditinggal sendirian disana, minimal harus ada yang nemeninlah
dst. Papa saya akhirnya balik lagi ke RS naik sepeda motor.
Jam 7.30an, kita udah
berangkat dari rumah membawa perlengkapan mandi, baju dll adik saya, karena mau
gak mau dia (sepertinya) harus rawat inap. Begitu sampai, kita nunggu dulu di
ruang tunggu keluarga pasien UGD. Tidak lama kemudian, dokter bedah (namanya
Dokter Frengky) datang dan memeriksa badan adik saya, ditekan-tekan bagian
perutnya dan adik saya ditanyain sakit atau engga. Akhirnya dia menyimpulkan
kalau ini usus buntu dan harus segera dioperasi. Keluarga kami awalnya masih ragu,
karena dokter internist kemarin bilang usus lecetnya lah yang bermasalah dan
fokus pemulihannya dimulai dari usus dulu. Kita tetap insist untuk menunggu
dokter internistnya datang untuk berdiskusi terlebih dahulu.
Sekitar 1 jam-an
menunggu, dokter internistnya (dokter Hendra) gak kunjung tiba. Akhirnya
keluarga kami memutuskan agar adik saya segera dioperasi. Kita langsung
diarahkan ke bagian admission untuk mengurus jenis operasi yang dipilih, kamar
dst. For your information, sejak pagi tadi dokter jaga, dokter bedah maupun
susternya udah kasih tau kita ada dua jenis operasi usus buntu. Yang pertama
adalah metode Konvensional sementara yang satunya lagi Laparoskopi. Bedanya
lebih ke arah estetika, jadi yang metode konvesional akan menghasilkan sayatan
(bekas) operasi lebih besar dan terlihat jelas. Sementara itu, metode
Laparoskopi menghasilkan sayatan yang lebih kecil karena menggunakan alat khusus
yang mahal (penggunaan alatnya saja harus bayar 17 juta rupiah). Beda harganya
2 kali lipat, jadi operasi Laparoskopi membutuhkan biaya 2 x lebih banyak
dibandingkan metode konvensional.
Sampai di admission,
kita langsung disuruh pilih kamar dan akhirnya dipilihlah kamar VIP karena ini
kamar satu pasien yang paling murah. Kamar satu pasiennya ada dua jenis, VIP
dengan harga 1,5 juta per malam dan satu lagi Superior/Executive/VVIP apalah
itu yang harganya sekitar 3 jutaan per malam. FYI, biaya dokter dst mengikuti
harga kamar yang kita pilih. Jadi misalnya ada satu dokter, bayarannya bakal
beda tergantung jenis kamar kita. Semakin mahal kamarnya, maka bayaran ke
dokter juga semakin mahal.
Total biaya yang harus
dikeluarkan untuk metode Laparoskopi 50 juta rupiah, sementara metode
konvensional 23 juta rupiah. Itu belum termasuk consumables, biaya administrasi
dst. Tapi udah termasuk perkiraan biaya kamar untuk 5 hari (total biaya kamar jadi
7,5 juta rupiah).
Karena adik saya
perempuan dan dokter bilang anak perempuan lebih baik metode Laparoskopi saja,
akhirnya Papa saya setuju dan kita bayar DP sebesar 37 juta (75%). Adik saya
emang gak ikut asuransi apapun, jadi bayar untuk operasi ini full ditanggung
pribadi. Saat pembayaran, kita diberikan 2 buah access card dan 2 voucher
parkir (gratis) untuk satu minggu. Selesai bayar, adik saya langsung
dipindahkan ke kamar dan akan dioperasi jam 2 siang. Dari pagi hari sampai
operasi, pasien tidak boleh makan atau minum sama sekali.
Kamar VIP adik saya
terletak di lantai 6. Kamarnya lumayan luas, ada TV dan sofa buat tamu/keluarga
yang berkunjung. Kamarnya sendiri cukup modern ya, karena rumah sakit ini
sendiri emang masih lumayan baru. Di kamarnya ada fasilitas wifi juga tapi
hanya untuk 2 gadget/kamar.
Keluarga yang mau nemenin semalaman bisa tidur di sofa cokelat itu |
Ini ranjangnya. Colokan di kamar kebanyakan kaki 3 |
Wastafel di kamar mandi, bersih |
Shower dan toilet |
Ada pasta gigi, pembersih kuping, sisir |
Sandal pasien |
Gak ada buah-buahan, adanya air minum saja |
Sekitar jam 1 siang, saya, papa dan mama turun ke lantai 2 untuk makan siang di canteen. Di RSPI ini ada kantin yang lumayan besar. Makanan yang dijual disana lumayan banyak dan variatif. Sayang saja kantin ini tutup di hari Minggu. Tapi gak perlu khawatir juga, karena dari rumah sakit ini ke Puri Indah Mall cukup berjalan beberapa langkah saja.
Kantin di lantai 2 yang luas |
Nama nasi gorengnya agak menggelitik, tapi saya gak inget. Rasanya lumayan enak, harganya 30 ribuan |
Jam 1an, adik saya
dibawa suster & petugas ke ruang operasi. Di dalam ruang operasinya, saya
dan adik dijelaskan kalau adik saya akan dibius total dan apa saja yang akan
kita dapatkan setelah operasi berhasil. Sekitar setengah jam kemudian, adik
saya diantar masuk ke bilik tempat operasi dilakukan dan saya disuruh tunggu di
luar. Kurang lebih sekitar jam 4 an, adik saya selesai dioperasi dan
dipindahkan ke ruang pemulihan untuk stay disana sekitar 1 jam-an. Dokter
Frengky yang mengoperasi adik saya memperlihatkan usus buntu yang berhasil di
bedah itu dan kita dikasih foto usus tersebut dari 4 sisi.
Ini nih usus buntu yang dibedah..dokternya nyuruh kita foto sebelum dia bawa kemana gitu. |
Jam 17.00, adik saya
dianter lagi ke kamarnya di lantai 6 dan mulai siuman. Saat siuman dia muntah
berkali-kali, yang mana reaksi ini wajar untuk orang yang habis dioperasi. Jam
18.00 baru boleh minum sedikit untuk melihat apakah ususnya udah bisa
bekerja/tidak. Setelah itu baru dilanjutkan makanan encer baru makanan berat,
kalau kondisi ususnya udah normal.
Setelah operasi usus
buntunya selesai, kondisi adik saya berangsur membaik dan sudah gak terasa
sakit diperutnya lagi. Dia bahkan meminta dokter untuk menyetop obat anti
nyeri, untuk melihat apakah perutnya bener-bener udah baikan/belum. Overall,
pelayanan di rumah sakit ini bagus dan profesional. Suster dan petugas medis
yang lain selalu datang dan mengawasi adik saya. Makanan yang disajikan juga
lengkap (4 sehat 5 sempurna) hanya kadang nasinya kurang hangat dan terlalu
keras. Karena kondisinya pulih lebih cepat dari perkiraan, pada hari Senin
tanggal 21 Agustus 2017, adik saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Jadi dia hanya
stay 2 malam saja di RS. Untuk biaya, setelah ditambah consumables dan biaya
admin, totalnya jadi 59,5 juta rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar