Minggu, 03 September 2017

Operasi Usus Buntu

Hai semua, setelah lama gak ngeblog sejak posting terakhir (Trip to Thailand), sekarang saya udah bisa nulis lagi karena ada topik yang ingin dikupas.

Jadi bulan Agustus kemarin menjadi bulan yang berbeda untuk saya. Singkat cerita, adik saya yang paling kecil harus dioperasi karena usus buntunya membengkak. Kronologis dari awal sampai dia operasi kira-kira seperti ini.

Kamis, 17 Agustus 2017

Di hari kemerdekaan itu, kita yang kerja kantoran libur semua dan stay at home. Seperti biasa, Mama saya pergi ke pasar untuk beli sarapan buat kita. Pulang-pulang dari sana, beliau bawa berbagai jenis makanan dan adik saya langsung menyantap nasi campur yang ada pelengkap kuah santannya. Setelah makan, dia naik ke atas ke kamar tidurnya. Gak berapa lama kemudian, saat saya sedang makan, ada pesan masuk via LINE dan disusul telepon. Adik saya bilang perutnya sakit banget, melilit dan minta ijin ke rumah sakit. Papa dan Mama saya langsung heboh dan naik ke kamar dia. Adik saya udah nangis-nangis karena gak kuat sama sakitnya. Pacarnya datang juga ke rumah dan kita berempat (saya, mama, dia dan pacarnya) langsung ke Rumah Sakit Pondok Indah di Puri Indah.

Singkat cerita, setelah sampai kita langsung ke Unit Gawat Darurat karena setau saya di hari libur begini cuma di tempat itulah yang beroperasi. Adik saya langsung dibaringkan dan disuntik obat anti nyeri. Setelah dokternya nanya-nanya dan periksa perut adik saya, dia bilang ini sakit maag dan langsung dibuat resep obat maag. Setelah menebus obat, kita semua langsung balik lagi ke rumah. Total yang harus dibayar untuk konsultasi + obat-obatan hari itu 1,2 juta rupiah.

Jumat, 18 Agusuts 2017

Hari itu hari kerja biasa. Adik saya yang masih kuliah dan lagi libur semester, tinggal di rumah bareng Papa dan Mama. Tiba-tiba sekitar jam 9 – 10 pagi, dia teriak bilang perutnya sakit banget. Mama dan Papa saya langsung heboh karena adik saya bilang sakitnya kali ini lebih hebat dibandingkan kemarin. Adik saya pun menangis dan gak kuat jalan, sampai dibopong papa ke mobil. Akhirnya kakak saya yang paling tua (tinggal di sebelah rumah, jadi tetangga kita) ngantar papa, mama dan adik saya ke RS lagi. Rumah sakitnya masih di RSPI dan kali ini mereka ketemu sama dokter internist-nya. Setelah dokternya melalukan pemeriksaan mendetail melalui screening, didapatlah fakta kalau usus adik saya lecet, rahimnya bengkak karena lagi mens dan usus buntunya lebih besar dari ukuran normal. Kombinasi hal itulah yang menyebabkan rasa sakitnya menjadi hebat. Setelah disuntik obat anti nyeri (lagi) dan udah agak baikan, adik saya disuruh rawat inap aja di RS. Tapi saat itu papa saya minta bawa pulang saja, karena dia pikir adik saya akan baik-baik saya karena asal sakit sesungguhnya sudah diketahui. Dokter internist-nya bilang dia akan focus untuk mengobati usus yang lecetnya dulu karena dia pikir ini masalah utamanya. Setelah menebus obat dan bayar biaya konsultasi dkk, keluarga saya  akhirnya pulang ke rumah. Malam itu adik saya masih bisa ketawa-ketiwi, jalan naik turun tangga dan merasa perutnya sudah baikan. Total yang harus dibayar untuk konsultasi + obat-obatan + tindakan medis hari itu 5,7 juta rupiah.

Sabtu, 19 Agustus 2017

Sekitar jam 4 pagi, pintu kamar saya diketuk. Papa saya masuk dan bilang perut adik saya sakit banget. Saya langsung naik ke lantai dua dan lihat dia lagi berbaring di ruang keluarga (gak tidur di kamarnya). Adik saya nangis sambal bilang perutnya sakit banget dan sekujur badannya kesemutan. Papa saya sempat berdebat sama Mama, karena Mama bilang baru kemarin dari RS kenapa sekarang mau ke RS lagi. Dokter internistnya juga ada bilang, kalau 3 hari kemudian masih belum sembuh, harus ke RS lagi. Tapi Papa saya gak tega ya lihat adik saya nangis-nangis, jadi akhirnya kita semua langsung ke RS di pagi-pagi buta itu. Adik saya dibopong masuk mobil oleh Papa, kita juga gak lupa bawa hasil screening kemarin. Sebenarnya adik saya ini sakit apa, udah bolak-balik ke RS dan dikasih obat tetap saja masih mengeluh sakit. Baru kali ini ada anggota keluarga kami yang intens berhubungan dengan RS. 

Begitu sampai di RSPI, kita langsung ke UGD lagi dan adik saya minta disuntik obat anti nyeri. Dokter yang jaga saat itu masih muda dan meragukan, karena saat membaca riwayat kesehatan adik saya di komputernya, dia ada bilang saya gak ngerti ke suster di sebelahnya. Entahlah gak ngerti apanya, mungkin keterangan yang dimasukkan dokter kemarin ke riwayat adik saya kurang lengkap atau jelas. Akhirnya setelah dia periksa perut adik saya, dia bilang ini usus buntu dan sebaiknya dioperasi. Jam 8 pagi udah bisa dioperasi, karena dokternya sudah datang dan ada kamar yang siap dipakai. Karena meragukan, kita bilang mau tunggu dokter bedah saja + dokter internist yang kemarin. Harusnya kemarin adik saya ketemu dengan dokter bedah juga, tapi dokter bedahnya lagi gak ada. Pihak rumah sakit bilang dokter bedahnya akan datang sekitar jam 8an. 

Sambil menunggu si dokter bedah, kita mau balik dulu ke rumah (karena jarak rumah – RS deket banget). Tapi pihak RSnya suruh kita ngisi form-form dulu, minta kita milih mau kamar yang tipe apa, biar adik saya bisa langsung dipindahin ke kamarnya. Kita gak yakin bener apakah adik saya harus dioperasi dan rawat inap, makanya kita bilang nanti dulu aja. Akhirnya pihak RSnya nanya, gak papa nih adiknya nunggu di ruang UGD? Adik saya bilang gak papa. Lalu kita semua pulang dan ninggalin adik saya sendirian di UGD. Kejam ga sih? Menurut saya sih engga, tapi kakak saya yang paling tua bilang kok dia ditinggal sendirian disana, minimal harus ada yang nemeninlah dst. Papa saya akhirnya balik lagi ke RS naik sepeda motor.

Jam 7.30an, kita udah berangkat dari rumah membawa perlengkapan mandi, baju dll adik saya, karena mau gak mau dia (sepertinya) harus rawat inap. Begitu sampai, kita nunggu dulu di ruang tunggu keluarga pasien UGD. Tidak lama kemudian, dokter bedah (namanya Dokter Frengky) datang dan memeriksa badan adik saya, ditekan-tekan bagian perutnya dan adik saya ditanyain sakit atau engga. Akhirnya dia menyimpulkan kalau ini usus buntu dan harus segera dioperasi. Keluarga kami awalnya masih ragu, karena dokter internist kemarin bilang usus lecetnya lah yang bermasalah dan fokus pemulihannya dimulai dari usus dulu. Kita tetap insist untuk menunggu dokter internistnya datang untuk berdiskusi terlebih dahulu.

Sekitar 1 jam-an menunggu, dokter internistnya (dokter Hendra) gak kunjung tiba. Akhirnya keluarga kami memutuskan agar adik saya segera dioperasi. Kita langsung diarahkan ke bagian admission untuk mengurus jenis operasi yang dipilih, kamar dst. For your information, sejak pagi tadi dokter jaga, dokter bedah maupun susternya udah kasih tau kita ada dua jenis operasi usus buntu. Yang pertama adalah metode Konvensional sementara yang satunya lagi Laparoskopi. Bedanya lebih ke arah estetika, jadi yang metode konvesional akan menghasilkan sayatan (bekas) operasi lebih besar dan terlihat jelas. Sementara itu, metode Laparoskopi menghasilkan sayatan yang lebih kecil karena menggunakan alat khusus yang mahal (penggunaan alatnya saja harus bayar 17 juta rupiah). Beda harganya 2 kali lipat, jadi operasi Laparoskopi membutuhkan biaya 2 x lebih banyak dibandingkan metode konvensional.

Sampai di admission, kita langsung disuruh pilih kamar dan akhirnya dipilihlah kamar VIP karena ini kamar satu pasien yang paling murah. Kamar satu pasiennya ada dua jenis, VIP dengan harga 1,5 juta per malam dan satu lagi Superior/Executive/VVIP apalah itu yang harganya sekitar 3 jutaan per malam. FYI, biaya dokter dst mengikuti harga kamar yang kita pilih. Jadi misalnya ada satu dokter, bayarannya bakal beda tergantung jenis kamar kita. Semakin mahal kamarnya, maka bayaran ke dokter juga semakin mahal.

Total biaya yang harus dikeluarkan untuk metode Laparoskopi 50 juta rupiah, sementara metode konvensional 23 juta rupiah. Itu belum termasuk consumables, biaya administrasi dst. Tapi udah termasuk perkiraan biaya kamar untuk 5 hari (total biaya kamar jadi 7,5 juta rupiah).

Karena adik saya perempuan dan dokter bilang anak perempuan lebih baik metode Laparoskopi saja, akhirnya Papa saya setuju dan kita bayar DP sebesar 37 juta (75%). Adik saya emang gak ikut asuransi apapun, jadi bayar untuk operasi ini full ditanggung pribadi. Saat pembayaran, kita diberikan 2 buah access card dan 2 voucher parkir (gratis) untuk satu minggu. Selesai bayar, adik saya langsung dipindahkan ke kamar dan akan dioperasi jam 2 siang. Dari pagi hari sampai operasi, pasien tidak boleh makan atau minum sama sekali.

Kamar VIP adik saya terletak di lantai 6. Kamarnya lumayan luas, ada TV dan sofa buat tamu/keluarga yang berkunjung. Kamarnya sendiri cukup modern ya, karena rumah sakit ini sendiri emang masih lumayan baru. Di kamarnya ada fasilitas wifi juga tapi hanya untuk 2 gadget/kamar.

Keluarga yang mau nemenin semalaman bisa tidur di sofa cokelat itu

Ini ranjangnya. Colokan di kamar kebanyakan kaki 3

Wastafel di kamar mandi, bersih

Shower dan toilet

Ada pasta gigi, pembersih kuping, sisir

Sandal pasien

Gak ada buah-buahan, adanya air minum saja

Sekitar jam 1 siang, saya, papa dan mama turun ke lantai 2 untuk makan siang di canteen. Di RSPI ini ada kantin yang lumayan besar. Makanan yang dijual disana lumayan banyak dan variatif. Sayang saja kantin ini tutup di hari Minggu. Tapi gak perlu khawatir juga, karena dari rumah sakit ini ke Puri Indah Mall cukup berjalan beberapa langkah saja.

Kantin di lantai 2 yang luas

Nama nasi gorengnya agak menggelitik, tapi saya gak inget. Rasanya lumayan enak, harganya 30 ribuan

Jam 1an, adik saya dibawa suster & petugas ke ruang operasi. Di dalam ruang operasinya, saya dan adik dijelaskan kalau adik saya akan dibius total dan apa saja yang akan kita dapatkan setelah operasi berhasil. Sekitar setengah jam kemudian, adik saya diantar masuk ke bilik tempat operasi dilakukan dan saya disuruh tunggu di luar. Kurang lebih sekitar jam 4 an, adik saya selesai dioperasi dan dipindahkan ke ruang pemulihan untuk stay disana sekitar 1 jam-an. Dokter Frengky yang mengoperasi adik saya memperlihatkan usus buntu yang berhasil di bedah itu dan kita dikasih foto usus tersebut dari 4 sisi. 

Ini nih usus buntu yang dibedah..dokternya nyuruh kita foto sebelum dia bawa kemana gitu.


Jam 17.00, adik saya dianter lagi ke kamarnya di lantai 6 dan mulai siuman. Saat siuman dia muntah berkali-kali, yang mana reaksi ini wajar untuk orang yang habis dioperasi. Jam 18.00 baru boleh minum sedikit untuk melihat apakah ususnya udah bisa bekerja/tidak. Setelah itu baru dilanjutkan makanan encer baru makanan berat, kalau kondisi ususnya udah normal. 

Setelah operasi usus buntunya selesai, kondisi adik saya berangsur membaik dan sudah gak terasa sakit diperutnya lagi. Dia bahkan meminta dokter untuk menyetop obat anti nyeri, untuk melihat apakah perutnya bener-bener udah baikan/belum. Overall, pelayanan di rumah sakit ini bagus dan profesional. Suster dan petugas medis yang lain selalu datang dan mengawasi adik saya. Makanan yang disajikan juga lengkap (4 sehat 5 sempurna) hanya kadang nasinya kurang hangat dan terlalu keras. Karena kondisinya pulih lebih cepat dari perkiraan, pada hari Senin tanggal 21 Agustus 2017, adik saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Jadi dia hanya stay 2 malam saja di RS. Untuk biaya, setelah ditambah consumables dan biaya admin, totalnya jadi 59,5 juta rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Other Posts